
Jakarta (UNAS) – Universitas Nasional (UNAS) menyelenggarakan International Conference on Global Issues (ICGI) 2025 pada Rabu (12/11/2025) di Auditorium UNAS, Jakarta. Konferensi internasional ini menjadi forum strategis bagi akademisi, diplomat, pembuat kebijakan, dan mahasiswa dari berbagai negara untuk membahas dinamika geopolitik global serta mencari solusi kolaboratif dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Dengan tema “Future of World: Making Peace Against All Odds”, ICGI 2025 menghadirkan diskusi lintas bidang mengenai tantangan keamanan internasional, peran diplomasi global, dan inovasi dalam pembangunan perdamaian. Ketua Pelaksana ICGI 2025, Robi Nurhadi, Ph.D., mengatakan bahwa konferensi ini menjadi wadah bagi akademisi dan generasi muda untuk berkontribusi dalam menjaga stabilitas dunia.
“Melalui forum ini, kita berupaya membangun kembali semangat perdamaian dengan melibatkan para pemimpin, akademisi, mahasiswa, dan masyarakat global,” ujar Robi.
Ia menegaskan bahwa perdamaian dunia merupakan tanggung jawab bersama seluruh lapisan masyarakat. “Melalui ICGI, UNAS berkomitmen menjadi jembatan dialog lintas negara dan budaya untuk menciptakan dunia yang lebih damai,” tambahnya.
Konferensi yang telah memasuki tahun kedua ini dihadiri oleh para duta besar dan akademisi dari berbagai negara, antara lain Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Dato’ Syed Mohamad Hasrin Tengku Hussin, Duta Besar Turki untuk Indonesia Prof. Dr. Talip Küçükçan, Guru Besar UNAS sekaligus Duta Besar Indonesia untuk Ukraina periode 2017–2021 Prof. Dr. Yuddy Chrisnandi, serta Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim, pendiri Pusat Studi Air Power Indonesia.
Kolaborasi untuk Perdamaian Dunia
Dalam pidatonya bertajuk “How Can The World Move Beyond Cycles of Conflict and Build a Sustainable Future Where Peace Prevails”, Prof. Yuddy menekankan pentingnya kolaborasi global yang berlandaskan etika dan realisme politik. Ia mengulas berbagai konflik yang masih terjadi di dunia, seperti di Ukraina, Sudan, Suriah, dan Myanmar.
Prof. Yuddy menilai, dilema antara idealisme global dan kepentingan nasional masih menjadi tantangan utama hubungan internasional. Ia mengusulkan reformasi Dewan Keamanan PBB, perlucutan senjata nuklir, penguatan diplomasi negara netral, serta percepatan implementasi Sustainable Development Goals (SDGs) sebagai langkah konkret untuk perdamaian dunia.
“Diplomasi Indonesia yang netral dan konstruktif dapat menjadi model dalam penyelesaian konflik global,” ujarnya.
Suara dari Malaysia dan Turki
Duta Besar Malaysia, Dato’ Syed Hasrin, menegaskan bahwa perdamaian sejati tidak akan terwujud tanpa keadilan dan kemanusiaan. Ia menyoroti pentingnya inovasi teknologi, diplomasi budaya, dan pendidikan lintas agama sebagai sarana membangun kepercayaan antarbangsa.
“Perdamaian bukanlah keadaan pasif, melainkan tindakan moral yang aktif untuk menegakkan keadilan dan empati bagi semua umat manusia,” tegasnya.
Sementara itu, Duta Besar Turki, Prof. Dr. Talip Küçükçan, mengungkapkan keprihatinan terhadap meningkatnya titik konflik global. Ia menyebut bahwa dunia membutuhkan pendekatan baru yang lebih manusiawi dan kolaboratif.
“Kami percaya kemanusiaan memiliki nasib yang sama. Perdamaian tidak akan terwujud melalui perpecahan, tetapi melalui kerja sama antarperadaban,” ucapnya.
Ia juga menyoroti perlunya reformasi sistem internasional, terutama Dewan Keamanan PBB, agar lebih mencerminkan realitas global saat ini.
Dari Pertahanan ke Diplomasi
Dalam sesi bertajuk “From Defense to Diplomacy: The Role of Military Leadership in Fostering Peace”, Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim menekankan pentingnya transformasi peran militer dari sekadar alat pertahanan menjadi instrumen diplomasi dan perdamaian global.
“Kemenangan tertinggi bukanlah mengalahkan musuh, melainkan mencegah konflik itu sendiri,” kata Chappy.
Ia mendorong agar pendidikan militer di masa depan lebih holistik, tidak hanya menekankan taktik dan strategi, tetapi juga nilai etika dan kemanusiaan agar melahirkan perwira yang berjiwa “arsitek perdamaian.”
Indonesia dan Diplomasi Global
Akademisi asal Turki, Dr. Tufan Kutay Boran, menyoroti posisi strategis Indonesia sebagai kekuatan menengah (middle power) di kawasan Global South. Ia memperkenalkan konsep smart balancing, yakni strategi yang memadukan pertahanan kuat dan diplomasi aktif untuk menjaga kemandirian politik luar negeri Indonesia di tengah rivalitas Amerika Serikat dan Tiongkok.
Sedangkan Prof. Dr. Makmor bin Tumin dari Universiti Kebangsaan Malaysia mengulas keseimbangan antara cosmopolitanism dan nationalism sebagai dasar moral dalam membangun patriotisme yang beretika di era global.
Komitmen UNAS Sebagai Kampus Global
Melalui ICGI 2025, UNAS menegaskan perannya sebagai kampus berwawasan internasional yang mendorong dialog lintas bangsa demi terciptanya perdamaian dunia. Kegiatan ini diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan serta memperkuat jejaring kerja sama global di bidang diplomasi, keamanan, dan kemanusiaan.
“ICGI adalah kontribusi nyata Universitas Nasional bagi dunia bahwa perdamaian bukan sekadar harapan, tetapi tanggung jawab bersama yang diwujudkan melalui kerja sama lintas batas,” tutup Robi.