Jakarta (UNAS) – Dikutip dari Pedoman Akreditasi Jurnal Ilmiah, publikasi sangat penting sesuai dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi No. 20 Tahun 2017 tentang dipersyaratkan publikasi ilmiah di jurnal terakreditasi. Kelulusan mahasiswa magister dan doktor menurut Standar Nasional Pendidikan Tinggi juga mensyaratkan hal yang sama. Akreditasi jurnal merupakan wujud pengakuan resmi atas penjaminan mutu jurnal ilmiah melalui kegiatan penilaian kewajaran penyaringan naskah, kelayakan pengelolaan, dan ketepatan waktu terbitnya jurnal tersebut.

Sehubungan dengan itu, Fakultas Hukum Universitas Nasional mengadakan Workshop “Pengelolaan & Akreditasi Jurnal Ilmiah”. Mengundang narasumber dengan pengalaman cukup banyak dalam mengadvokasi jurnal di lini kampus, Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.H.,mengharapkan jurnal-jurnal di Universitas Nasional menjadi semakin baik dan dikelola semakin profesional.

Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, S.H., M.H.,

“Dalam forum ini kami mengundang teman-teman saya, para pengelola jurnal dari berbagai fakultas dan program studi yang ada di Universitas Nasional. Tentu kami ingin mendapatkan bagaimana mengelola jurnal dengan baik, sirkulasinya konsisten, desainnya konsisten, dan dengan harapan ke depan bisa mendapatkan akreditasi yang baik,” tutur Prof. Basuki saat membuka kegiatan workshop yang berlangsung secara daring, Senin (5/7).

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H., selaku chief editor jurnal Harlev (Hasanuddin Law Review) dan berpengalaman menjadi koordinator asesor jurnal bidang hukum, dipercaya sebagai narasumber pada kesempatan ini. Beliau memaparkan bagaimana pengelolaan dan akreditasi jurnal imiah sesuai dengan kebijakan-kebijakan terakhir yang dikeluarkan oleh Kemenristekdikti.

Prof. Irwansyah menyarankan agar jurnal-jurnal terlebih dulu terakreditasi meskipun di level bawah (minimum sinta 4). Dengan begitu, akan lebih mudah nantinya untuk reakreditasi ke sinta yang lebih tinggi. “Sebaiknya menggunakan standar minimal saja dulu, nanti prosesnya dimaksimalkan. Setelah terakreditasi boleh diubah. Tapi prosesnya dimaksimalkan,” ujarnya. Dimaksimalkan yang dimaksud yaitu setidaknya jurnal diterbitkan dua kali dalam setahun dengan minimal lima naskah yang setiap naskahnya mendapat review dari tiga reviewer.

Ia melanjutkan, bahwa masa berlaku akreditasi ini berlaku surut dengan pertimbangan agar penulis 2 tahun sebelumnya tetap dinilai terakreditasi. Saat ini pengajuan akreditasi juga dipermudah yang sebelumnya hanya dua kali setahun menjadi sepanjang tahun. Prof. Irwansyah memberikan banyak arahan dan strategi dari berbagai aspek penilaian.

Salah satunya, menekankan terkait reviewer jurnal. “Jadi makin banyak review makin bagus, makin punya rekam jejak publikasi makin bagus. Karena yang dinilai, yang diukur nanti dievaluasi adalah tingkat kesulitan. Salah satu kesulitan itu adalah pelibatan reviewer dari luar,” tegasnya. Ia juga menambahkan mengenai standar tata kelola yang dalam proses penilaiannya terdapat 8 poin terdiri dari 6 poin manajemen dan 2 poin substansi.

Selain itu, Prof. Irwansyah juga memaparkan tugas editor jurnal, penggunaan bahasa, etika publikasi, dan apek-aspek lainnya. Workshop ini diakhiri dengan sesi diskusi yang mendapatkan antusias tinggi oleh para peserta dengan diajukannya berbagai macam pertanyaan berdasarkan kendala yang ada di lapangan. (*ARS)