
Depok (UNAS), 24 Mei 2025 — Dalam upaya memperkuat literasi sastra dan mendorong diskursus intelektual mengenai relasi kuasa dalam masyarakat, kegiatan bedah buku Mentang-Mentang Oligarki karya Dodo Lantang digelar di Café JPW Garden, Grand Depok City. Acara ini bukan hanya menjadi ajang peluncuran buku, tetapi juga forum reflektif yang mempertemukan akademisi, seniman, wartawan, aktivis, hingga pejabat publik untuk mendiskusikan puisi sebagai medium kritik sosial dan ekspresi intelektual.
Kegiatan ini dihadiri oleh tokoh-tokoh lintas disiplin, membuktikan bahwa puisi tetap memiliki daya hidup sebagai ruang penyadaran sosial. Dalam sambutannya, Wakil Wali Kota Depok, Chandra Rahmansyah, S.Kom., mengangkat ironi pembangunan—megahnya infrastruktur di tengah ketimpangan sosial. Ia juga menyoroti praktik jual beli kursi dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sebagai wujud perilaku oligarkis dalam sistem pendidikan.
Sebagai penulis, Dodo Lantang menyampaikan bahwa puisinya lahir dari kegelisahan intelektual dan sosial. Ia menekankan bahwa puisi adalah media refleksi dan perlawanan yang halus namun tajam. Dodo juga menyoroti minimnya perhatian terhadap puisi dalam sistem pendidikan formal yang cenderung menempatkan puisi sebatas ekspresi cinta, padahal puisi memiliki potensi besar sebagai media untuk menyuarakan isu politik, hukum, dan kemanusiaan.
Dekan Fakultas Bahasa dan Sastra UNAS, Dr. Drs. Somadi Sosrohadi, M.Pd., memberikan apresiasi terhadap karya Dodo yang dinilai mampu menembus batas konvensional puisi. Ia menyatakan bahwa karya tersebut merupakan representasi praktik akademik yang membumi serta mendukung pembentukan karakter mahasiswa. “Sastra bukan sekadar hiburan, melainkan instrumen transformasi sosial,” tegasnya.
Dalam sesi bedah buku, hadir tiga narasumber akademisi: Dr. Wahyu Wibowo, M.Si., Firdaus Syam, M.A., Ph.D.; dan Fikar W. Eda, penyair dan wartawan senior. Ketiganya mengulas bagaimana puisi Dodo mengangkat isu sosial secara kritis dan puitis. Struktur, metafora, serta keberanian menyuarakan ketidakadilan menjadi poin yang banyak disorot.
Marsekal TNI (Purn.) Chappy Hakim memberikan perspektif dari dunia militer. Ia menekankan bahwa seni, termasuk puisi, penting dalam pendidikan militer untuk menyeimbangkan rasionalitas dan empati. Menurutnya, karya ini bukan sekadar kumpulan puisi, tetapi refleksi keberpihakan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.
Devi P. Wiharjo, Pemimpin Redaksi Existensil.com dan anggota Aliansi Jurnalis Independen, memberikan catatan penting tentang peran puisi sebagai ekspresi dari suara pinggiran. Ia menggarisbawahi bahwa dunia sastra masih maskulin, dan karya seperti ini membuka ruang bagi keberagaman suara, termasuk perempuan dan kelompok marjinal.
Acara ini turut didukung oleh berbagai tokoh dan komunitas, antara lain Iwan Setiawan (Sekretaris PKB Depok), Bang Beny (Ketua PWOIN Depok), Sukasno, S.E., M.APC (Pemilik Batik Maskas), serta Harry Darmawan, S.Hum., M.Si. (Ketua Lembaga Indonesia–Australia UNAS). Penampilan musikalisasi puisi oleh Deavies Sanggar Matahari menutup acara dengan nuansa yang syahdu dan mendalam.
Bedah buku ini menjadi ruang pertemuan lintas perspektif yang menunjukkan bahwa puisi tetap relevan sebagai sarana penyadaran dan perubahan sosial. Melalui kekuatan kata, Dodo Lantang menunjukkan bahwa literasi dapat menjadi ruang perlawanan yang tenang namun menggugah, dan puisi dapat menjadi jembatan menuju peradaban yang lebih adil dan manusiawi.
Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Nasional terus berkomitmen mendukung karya-karya sastra yang menyuarakan realitas sosial dan mendorong mahasiswa untuk aktif dalam proses kreatif yang mencerdaskan. Kegiatan ini diharapkan menjadi langkah awal kolaborasi antara akademisi, seniman, dan masyarakat untuk memperluas ruang dialog kebudayaan di Indonesia. (MPR)