Logo MPR

Kegiatan ini diikuti oleh mahasiswa program doktor dan magister, baik secara luring maupun daring melalui Zoom Meeting, dengan menghadirkan dua narasumber utama dari kalangan akademisi dan praktisi perpajakan.

Acara dibuka secara resmi oleh Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prof. Dr. Edi Sugiono, S.E., M.M., yang dalam sambutannya menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak penyelenggara serta menekankan pentingnya kegiatan kuliah umum sebagai sarana memperluas wawasan mahasiswa terhadap isu-isu aktual di bidang ekonomi dan perpajakan.

“Kuliah umum ini diadakan setiap semester sebagai bentuk pengayaan akademik bagi mahasiswa pascasarjana. Kali ini, kita membahas fenomena Cortex (Core Tax Administration System) yaitu sistem administrasi inti perpajakan yang baru diluncurkan pemerintah, dengan harapan kegiatan ini membuka wawasan baru dan meningkatkan pemahaman mahasiswa terhadap modernisasi perpajakan di Indonesia,” ujar Prof. Edi dalam sambutannya.

“Kami berharap kegiatan kuliah umum ini menjadi sarana akademik yang bermanfaat, memperkuat kolaborasi antara dunia pendidikan dan praktik profesional, serta mendorong peningkatan kepatuhan dan literasi perpajakan di Indonesia,” pungkasnya.

Materi pertama disampaikan oleh Aryanto B. Nugroho, S.Sos., M.A. yang membahas secara komprehensif tentang implementasi dan tantangan Cortex. Dalam paparannya, Aryanto menjelaskan bahwa sistem ini merupakan bagian dari program reformasi perpajakan nasional yang bertujuan meningkatkan efisiensi, transparansi, dan kepatuhan wajib pajak melalui integrasi data berbasis teknologi informasi.

Menurutnya, Cortex adalah sistem terpadu yang menggabungkan seluruh proses administrasi perpajakan mulai dari pelaporan, pembayaran, hingga pemeriksaan dalam satu platform digital.

“Kalau dulu kita harus menggunakan banyak aplikasi, seperti e-Faktur, e-Billing, dan e-Filing secara terpisah, kini semuanya terintegrasi dalam satu sistem Cortex. Tujuannya adalah simplifikasi, efisiensi, dan peningkatan kepatuhan wajib pajak,” jelas Aryanto.

Aryanto juga menyoroti bahwa Cortex memperkuat konsep self assessment system, di mana wajib pajak menghitung dan melaporkan pajaknya secara mandiri. Dengan sistem ini, data wajib pajak akan terhubung langsung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), sehingga seluruh transaksi keuangan dapat terpantau secara real time oleh otoritas pajak.

Selain itu, ia menjelaskan beberapa fitur baru dalam Cortex, seperti Taxpayer Ledger (buku besar digital), sistem deposit pajak, dan impersonate access yang memungkinkan delegasi kewenangan dalam pelaporan tanpa mengorbankan kerahasiaan data.

“Dengan adanya integrasi NIK dan NPWP, serta digitalisasi penuh layanan pajak, transparansi dan akuntabilitas perpajakan nasional diharapkan meningkat. Namun, tantangannya kini adalah kesiapan infrastruktur dan stabilitas server agar sistem ini berjalan optimal,” ungkapnya.

Sementara pada sesi kedua menghadirkan Dr. Unggul Wibawa, selaku pakar perpajakan dan dosen Universitas Indonesia, yang memaparkan materi bertema Transfer Pricing: Prinsip Kewajaran dan Kepastian Hukum dalam Transaksi Afiliasi.
Dalam paparannya, Unggul menjelaskan bahwa transfer pricing merupakan praktik penentuan harga dalam transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa antara dua pihak, baik antar perusahaan dalam negeri maupun lintas negara.

Transfer pricing bukan hanya soal transaksi internasional. Saat ini, antarperusahaan dalam negeri dengan NPWP berbeda, bahkan dalam satu grup usaha, juga bisa termasuk dalam kategori transaksi afiliasi yang wajib diperhatikan secara hukum,” ujar Unggul.

Ia juga menyoroti pentingnya pemahaman mengenai prinsip kewajaran dan kepastian hukum dalam penyusunan dokumentasi transfer pricing, agar perusahaan tidak terkena koreksi atau sanksi dari Direktorat Jenderal Pajak.
Lebih lanjut, ia menjelaskan berbagai metode analisis yang digunakan dalam menentukan kewajaran harga transaksi serta pentingnya dokumentasi yang memadai sebagai bentuk kepatuhan terhadap ketentuan PMK No. 172 Tahun 2023.

Dalam penjelasan yang menarik dan interaktif, ia mengajak peserta untuk memahami perbedaan antara perencanaan pajak yang legal atau tax planning dengan penghindaran pajak yang melanggar hukum. Ia juga menegaskan bahwa isu transfer pricing menjadi perhatian serius karena dapat berdampak langsung terhadap penerimaan negara.

“Banyak kasus transfer pricing yang sampai ke pengadilan pajak karena kurangnya dokumentasi dan pemahaman. Oleh sebab itu, penting bagi para praktisi, akademisi, maupun mahasiswa untuk memahami prinsip kewajaran dan mekanisme pengawasan pajak yang berlaku,” tuturnya.

Kegiatan kuliah umum ini berlangsung dinamis dengan sesi tanya jawab yang aktif dari peserta, baik mahasiswa Magister maupun Doktor. Para peserta mengajukan pertanyaan seputar penerapan Cortex di dunia kerja, serta dampak kebijakan transfer pricing terhadap pengelolaan keuangan perusahaan dan lembaga publik. (*DMS)