
Jakarta (UNAS) – Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS), Universitas Nasional (UNAS) menyelenggarakan kuliah umum bertajuk “Youth Character Building: Lead Yourself, Lead Your Team, Lead the Future” pada Kamis–Jumat, 24–25 Juli 2025, di Ruang Kelas 707 Kampus UNAS, Pejaten. Kegiatan ini bertujuan membentuk karakter kepemimpinan mahasiswa yang berwawasan global, toleran, dan siap menghadapi tantangan dunia multikultural.
Kuliah umum ini menghadirkan diplomat dari Kedutaan Besar Federasi Rusia di Jakarta serta pakar budaya dan literasi nasional. Selama dua hari, mahasiswa mengikuti sesi seminar, diskusi, dan penilaian diri terkait kepemimpinan. Mereka diajak untuk memahami pentingnya memimpin diri sendiri, membangun kerja sama dalam tim, dan bersiap menjadi pemimpin masa depan.
Acara dibuka oleh Dra. Ucu Fadhilah, M.Hum., dosen Prodi Sastra Jepang, yang mewakili Dekan FBS UNAS. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya mencintai budaya sendiri sebelum melangkah ke ranah global. “Indonesia dan Rusia memiliki hubungan panjang di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Sebelum kita menjajaki dunia internasional, penting untuk memahami dan mencintai budaya kita sendiri,” ujarnya.
Ia juga mengingatkan pentingnya toleransi dalam masyarakat multikultural. “Jangan mengucilkan orang lain hanya karena latar budaya yang berbeda. Dari keberagaman, kita bisa saling belajar dan memperluas wawasan,” tambahnya. Ia menutup sambutannya dengan ajakan kepada mahasiswa untuk tetap menjunjung tinggi Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu, sambil tetap terbuka mempelajari bahasa asing.
Ketua Program Studi Sastra Inggris UNAS, Dr. Siti Tuti Alawiyah, S.S., M.Hum., menyampaikan apresiasi atas terselenggaranya kuliah umum ini. Ia menegaskan bahwa kegiatan ini bukan sekadar agenda seremonial, melainkan momentum penting dalam menanamkan nilai karakter dan kepemimpinan mahasiswa di era global.
“Menjadi pemimpin masa depan bukan hanya soal prestasi akademik, tetapi juga tentang karakter, integritas, dan kemampuan memahami keberagaman dunia. Kegiatan ini mendorong mahasiswa untuk berpikir global, namun tetap berakar pada nilai budaya bangsa,” ucapnya.
Ia juga menyampaikan terima kasih kepada tim pelaksana, dosen pendamping, serta perwakilan Kedutaan Besar Federasi Rusia atas kontribusi dalam menyukseskan acara ini. Ia berharap kerja sama internasional seperti ini terus berlanjut sebagai ruang pertukaran pengetahuan antarbangsa.
Pada hari pertama, mahasiswa mengikuti pemaparan dari tiga perwakilan Kedutaan Besar Federasi Rusia: Irina Vorobieva (Counsellor), Julia Tomskaya (Attaché), dan Anton Tikhomirov (Attaché).
Julia Tomskaya membahas kesamaan budaya antara Indonesia dan Rusia, seperti kolaborasi dalam pembangunan Tugu Tani, RSUP Persahabatan, Hotel Borobudur, dan Stadion Gelora Bung Karno yang merupakan replika stadion di Rusia. “Budaya Rusia sama beragamnya dengan Indonesia. Kami hidup dalam keberagaman agama dan etnis. Itu adalah kekuatan kita,” ujarnya.
Anton Tikhomirov membawakan materi sejarah tentang Perang Dunia II dari sudut pandang Rusia, yang dikenal dengan istilah Great Patriotic War. Ia memaparkan peristiwa besar seperti Operasi Barbarossa, Pengepungan Leningrad, Pertempuran Moskow, hingga jatuhnya Berlin, serta korban jiwa lebih dari 26 juta orang di Uni Soviet.
“Peringatan Hari Kemenangan setiap 9 Mei menjadi wujud penghormatan terhadap sejarah kami. Kita harus melawan narasi penulisan ulang sejarah dan ancaman Neo-Nazisme yang masih mengintai,” tegasnya.
Sementara itu, Irina Vorobieva membahas dinamika kerja sama politik dan ekonomi Indonesia–Rusia, peran Rusia di G20, serta tantangan global seperti narkotika dan terorisme. Ia menekankan pentingnya pemahaman geopolitik di kalangan mahasiswa sebagai bagian dari generasi penerus.
“Kerja sama antarnegara membawa peluang besar, namun juga risiko. Mahasiswa harus memahami konteks global agar bisa berkontribusi secara bijak dan berkelanjutan,” jelasnya.
Hari kedua ditutup dengan seminar yang diisi oleh Islah Bahrawi, penulis, aktivis literasi, dan pengamat kebudayaan. Ia menyampaikan pentingnya literasi sebagai dasar pembentukan karakter.
“Literasi bukan sekadar membaca buku, tapi memahami manusia, budaya, dan perbedaan. Membaca membuka jalan menjadi pribadi yang lebih manusiawi,” ujarnya.
Di tengah era digital yang serba cepat, Islah menekankan bahwa literasi sejati adalah kemampuan membuka hati dan pikiran terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keberagaman, dan perkembangan peradaban.
Melalui kegiatan ini, mahasiswa tidak hanya memperluas wawasan mengenai isu global dan nilai kemanusiaan, tetapi juga turut mempererat hubungan akademik dan diplomatik antara Indonesia dan Rusia. Seluruh rangkaian acara berlangsung lancar dan mendapat antusiasme tinggi dari mahasiswa lintas program studi di UNAS. (SAF)