Jakarta (UNAS) – Dalam rangka memperingati Hari Cinta Puspa Satwa Nasional, “LUTUNG”Forum Studi Primata (FSP) dan Biological Bird Club (BBC) “Ardea” Universitas Nasional menyelenggarakan webinar Diskusi Konservasi dengan tema “Mencintai dan Melindungi Puspa & Satwa Sebagai Bagian dari Kita” pada Sabtu (7/11).

Dalam sambutannya, Dr. Tatang Mitra Setia, M.Si. mengingatkan bahwa bentuk mencintai bukan dengan cara mengurung tapi dengan membiarkan mereka (satwa) hidup di alam bebas. “Walaupun kita mencintai dan melindungi tapi jangan mencintai mereka dengan mengurung, cintailah mereka di alam bebas sehingga mereka bisa bebas,” kata Tatang.

Ia melanjutkan bahwa keanekaragaman hayati di Indonesia sangat banyak dan dapat dinikmati. Menurutnya, unsur kehidupan manusia merupakan berkah adanya keanekaragaman hayati. Oleh karena itu, Tatang mengajak untuk terus mencintai.“Sebenarnya bagian dari kehidupan kita semua baik kuliner seni budaya dan sebagainya itu adalah berkah dari adanya keanekaragaman oleh karena itu mari kita semakin mencintai,” ungkapnya.

Kegiatan yang juga dilangsungkan secara streaming di youtube ini, turut dihadiri Botanist & CEO Yayasan Generasi Biologi Indonesia Heri Santoso, Conservation Manager Burung Indonesia Ferry Hasudungan, Manajer Program Ekosistem Kehutanan Yayasan Kehati Imanuddin Utoro, Paramedik Veteriner Pelaksana Lanjutan UP Taman Margasatwa Ragunan Maman Sukirman.

Hadir sebagai pembicara pertama, Botanist & CEO Yayasan Generasi Biologi Indonesia Heri Santoso mengatakan bahwa sebaran puspa endemik tersebar luas di pulau Jawa. Hal itu, kata Heri, karena pulau Jawa banyak dikelilingi gunung merapi dari timur hingga barat. Ia juga mengatakan bahwa terdapat sebaran puspa endemik yang sangat lengkap serta populasinya sangat banyak di satu wilayah dan tidak ditemukan di wilayah lain dan tidak perlu dikhawatirkan menjadi punah.

Meski demikian, puspa di Indonesia tidak terlepas dari berbagai ancaman salah satunya adalah puspa tersebut tidak tumbuh di kawasan konservasi. “Dan menjadi ancaman yang tinggi karena disitu ada kegiatan manusia yang bisa saja ada aktivitas pembebasan lahan atau juga tumbuhan tersebut tumbuh di wilayah pegunungan dan banyak pendaki sehingga jenis-jenis tertentu rentan untuk dipetik,” ujar Heri.

Oleh karena itu, lanjut Heri, perlu adanya edukasi kepada masyarakat untuk tidak memetik atau mengambil tumbuhan yang dilindungi. Selain himbauan untuk tidak memetik jenis puspa yang dilindungi, peran masyarakat juga diperlukan untuk ikut menanam jenis tumbuhan endemik di pekarangan rumah.

“Masyarakat dapat menanam tumbuhan seperti mangifera lalijiwa dan hedychium roxburghii yang banyak dijumpai di desa-desa dan ini bisa dijadikan hiasan di sekitar rumah sehingga dapat dinikmati, disamping itu juga sebagai bentuk melestarikan puspa endemik tersebut,” tutur Heri.

Sementara itu, Conservation Manager Burung Indonesia Ferry Hasudungan menyatakan bahwa saat ini terdapat 30 spesies jenis burung yang terancam punah dan statusnya dilindungi. Hal itu karena maraknya penangkapan dan perdagangan burung yang memicu kepunahan khususnya di wilayah barat Indonesia.

“Oleh karena itu, perlu adanya suatu program utama dari kegiatan yang terkoordinasi dengan baik, untuk mencegah kerugian lebih lanjut bagi populasi di alam, serta menciptakan kondisi untuk pemulihan populasi alami yang telah terkuras,” jelasnya.

Untuk spesies yang tersisa, kata Ferry, salah satu langkah penting untuk segera dilakukan adalah meningkatkan kesadaran publik tentang dampak dari perdagangan burung terhadap populasi liar serta mengkampanyekan perubahan perilaku. “Tidak usah banyak persepsi bagaimana burung ini dicintai, yang terpenting kita terus mengupayakan bagaimana baiknya burung itu kita nikmati dan dicintai dengan alam bebas,” kata Ferry.

Dalam kesempatan yang sama, Manajer Program Ekosistem Kehutanan Yayasan Kehati Imanuddin Utoro menyampaikan bahwa keanekaragaman hayati adalah aset bagi pembangunan nasional dan daerah. Namun, didalam pembangunan itu terdapat potensi kerusakan lingkungan yang dapat menghilangkan keanekaragaman hayati tersebut.

Sebagai upaya mempertahankan keanekaragaman hayati, lanjut Imanuddin pemerintah telah membangun sistem kawasan lindung tentang tata ruang nasional seperti konservasi kawasan lindung (hutan lindung), kawasan lindung geologi (geopark), dan kawasan lindung lainnya seperti taman kehati.

Ia melanjutkan bahwa taman kehati sendiri merupakan kawasan pencadangan sumber daya alam hayati lokal di luar kawasan hutan. Taman ini mempunyai fungsi konservasi in-situ atau ex-situ khususnya bagi tumbuhan yang penyerbukan dan pemencaran bijinya harus dibantu oleh satwa dengan struktur dan komposisi vegetasinya dapat mendukung kelestarian satwa penyerbuk dan pemencar biji.

“Adanya taman kehati diharapkan dapat membantu spesies burung dan kelelawar untuk bertahan hidup dan menjadi habitat serta koridor bagi aktivitas satwa liar. Selain itu, Taman kehati juga dapat melindungi tumbuhan lokal atau varietas lokal seperti durian kubang atau salak condet,” kata Imanuddin. (*DMS)