Logo MPR

Saat ditemui oleh Tim Humas pada Kamis, 17 Juli 2025 di Kampus UNAS, Ketua tim Ahmad Irfan Al Faqih menceritakan bahwa keterlibatan mereka dalam lomba ini bermula dari ajakan spontan seorang teman. “Saya ditelepon teman yang bilang masih butuh tim untuk ikut lomba. Karena saya pernah menang lomba film sebelumnya, saya diminta bantu,” kata Faqih.

Tanpa rencana matang, Faqih langsung mengajak Viola, Nayla, Hani, dan Tama untuk bergabung. Mereka hanya memiliki waktu sekitar tiga hari untuk menyiapkan semuanya, mulai dari penyusunan naskah, produksi, hingga penyuntingan video. Proses syuting dilakukan segera setelah mendaftar, meski sempat dihadapkan pada perubahan skrip akibat cuaca dan kendala teknis di lapangan.

“Waktu itu kami langsung diskusi di kafe, dan banyak bagian skrip yang harus diubah karena cuaca. Tapi kami tetap lanjut,” ujar Faqih, yang berperan sebagai sutradara dan penulis alur cerita.

Pembagian peran dilakukan secara spontan. Viola mengisi suara latar (voice over), Nayla tampil sebagai pemeran utama, Hani mengurus pengambilan gambar, dan Tama bertanggung jawab dalam penyuntingan video. “Kami semua saling mendukung. Walaupun waktunya mepet, tapi kami jalani dengan semangat,” tambah Faqih.

Menurut Viola, pesan utama dalam video mereka adalah ajakan untuk menggunakan teknologi digital secara bijak, termasuk dalam membangun citra diri di era media sosial. “Kami ingin menunjukkan bahwa teknologi bisa dipakai untuk hal positif dan bermanfaat bagi masa depan,” jelasnya.

Video tersebut berhasil mengungguli peserta dari 15 kampus dan sekolah di seluruh Indonesia, termasuk perguruan tinggi negeri. Kemenangan ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi seluruh anggota tim. “Senang banget pas tahu menang. Apalagi videonya juga diunggah di Instagram Himasos, makin bangga,” ucap Viola.

Hani, salah satu anggota tim, mengakui bahwa sebagian besar dari mereka tidak memiliki latar belakang profesional di bidang film. Beberapa belajar secara otodidak, sebagian aktif di organisasi dokumentasi kampus, dan lainnya hanya bermodal keberanian untuk mencoba. “Saya belum pernah memegang kamera secara profesional, tapi karena sering dokumentasi di kampus, jadi sedikit-sedikit tahu. Dari situ saya belajar banyak,” tutur Hani, mahasiswa kelahiran Jakarta, 23 Februari 2005.

Senada dengan itu, Delvyan Ramdhan Pratama atau Tama, yang berperan sebagai editor, menyebut seluruh proses sebagai pengalaman belajar yang berharga. “Mulai dari pembentukan tim sampai akhirnya menang, semuanya jadi pengalaman yang tak terlupakan. Kami belajar soal manajemen waktu, kerja tim, dan menyelesaikan sesuatu di tengah tekanan,” ujar Tama, mahasiswa Ilmu Komunikasi semester dua.

Setelah kemenangan ini, semangat mereka justru semakin besar. Beberapa dari mereka tengah mempersiapkan diri untuk mengikuti kompetisi berikutnya, bahkan ada yang ingin membentuk tim baru dan membuka kesempatan bagi mahasiswa lain yang punya minat serupa.

“Yang penting bukan cuma lombanya, tapi bagaimana kita bisa terus berkarya. Menang itu bonus,” tutup Tama.

Kisah ini tidak hanya soal prestasi di ajang lomba, tetapi juga tentang keberanian untuk mencoba, kemampuan beradaptasi, dan kerja sama dalam keterbatasan. Di tengah derasnya arus digital, mahasiswa UNAS membuktikan bahwa dengan kreativitas dan tekad, ide kecil bisa menjadi karya berdampak. (*DMS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *