Jakarta (UNAS) – Kawasan Teluk Saleh, Pulau Moyo, dan Gunung Tambora atau yang bisa disingkat Samota di Pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB telah ditetapkan sebagai cagar biosfer dunia oleh United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) pada 2019. Penetapan Samota sebagai cagar biosfer dunia dilakukan dalam acara The 31st session of the Man and the Biosphere Programme International Coordinating Council, yang berlangsung di Paris, Prancis.

Dengan ditetapkannya kawasan Samota sebagai cagar biosfir, maka diperlukan kerjasama berbagai pihak dalam pengelolaanya. Dengan demikian, cagar biosfir samota dapat memberi manfaat terhadap keberlangsungan sumber daya hayati. Pentingnya mengusung partisipasi stakeholders dalam tata kelola cagar biosfir Samota, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Nasional (LPPM UNAS)  mengadakan Webinar Samota Talk pada Selasa (24/11).


Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt.
Dalam sambutannya, Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat UNAS Prof. Dr. Ernawati Sinaga, M.S., Apt. mengatakan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk mendiskusikan dan mencari masukan untuk mengusung partisipasi stakeholders dalam tata kelola cagar biosfir agar penetapan samota bermanfaat bagi stakeholders. “Mudah-mudahan dalam kegiatan ini dapat memberikan masukan-masukan atau mempelajari tentang cagar biosfir samota ini agar dapat memberikan rekomendasi kepada seluruh stakeholders apa yang harus kita lakukan agar penetapan samota sebagai cagar biosfir ini memang bermanfaat bagi semua pihak termasuk stakeholders,” ujarnya.

Conservation Of Forest Resources And Ecotourism Department – Institut Pertanian Bogor Dr. Nandi Kosmaryandi, M.Sc., Forest.Trop menjelaskan bahwa minat partisipasi dapat muncul jika kepentingan para stakeholders dapat terwadahi dan manfaatnya bisa dirasakan langsung. Hal itu, kata Nandi, perlu digambarkan secara jelas kepada masyarakat bagaimana nilai tangible dalam pengelolaan suatu kawasan.


Dr. Nandi Kosmaryandi, M.Sc.
“Sehingga nantinya masyarakat mau berperan serta aktif dalam pengelolaan yang sesuai dengan tujuan pengelolaan kita,” katanya. Disamping itu, lanjutnya, diperlukan suatu regulasi yang mengatur tentang tata kelola cagar biosfir agar dipatuhi oleh masyarakat. Selain itu, dalam mengundang masyarakat untuk berpartisipasi harus ada intensif yang diberikan.


Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng.
Direktur Sumbawa Technopark atau Ketua Dewan Riset Daerah Kab. Sumbawa Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng. menyatakan manfaat adanya cagar biosfir bisa digunakan untuk branding produk lokal.“Sehingga bagaimana branding tersebut bisa digunakan untuk memasarkan produk-produk lokal yang akhirnya perekonomian masyarakat juga bisa meningkat,” ujar Arief.

Ia pun berharap kegiatan penelitian Unas dapat memberikan manfaat bagi cagar biosfir juga kepada masyarakat. “Kegiatan ini dari Universitas Nasional saya pribadi berharap penelitian ini dapat memberi masukan kepada pimpinan daerah baik itu gubernur maupun bupati terkait dengan pengelolaan ideal dan juga potensi-potensi yang ada. Juga melakukan penelitian kecil mengenai kesadaran masyarakat dengan menggandeng perguruan tinggi setempat atau SMK sehingga bisa menguatkan potensi sumber daya manusia yang ada,” harapnya.

Dalam kesempatan yang sama, Guru Besar Universitas Nasional Prof. Dr. Endang Sukara, Ph.D. mengatakan bahwa perlu adanya redefinisi fungsi cagar biosfir di Indonesia termasuk di samota. Menurutnya, hal itu karena adanya kepentingan masyarakat di dalam tiga zona cagar biosfir di Indonesia.


Prof. Dr. Endang Sukara, Ph.D.
“Di zona core tidak lagi fokusnya pada hanya konservasi saja atau pada monitoring tapi kita harus memasukkan juga fungsi zona lain yang bisa mengadopsi kehidupan masyarakat setempat termasuk juga kegiatan wisata alam karena zona ekosistem itu merupakan ruang gerak dari masyarakat setempat tidak bisa dipisahkan jadi sudah menyatu dengan jiwa masyarakat disana termasuk juga zona buffernya mungkin kita harus memperluas lagi fungsinya,” kata Prof. Endang.

Prof. Endang melanjutkan usulan meredefinisi fungsi cagar biosfir di Indonesia akan diajukan ke UNESCO dan juga Man And the Biosphere (MAB). “Agar supaya nantinya kepentingan-kepentingan masyarakat secara luas bisa terakomodasi demikian juga kepentingan dari pemerintah pusat maupun daerah,”  tandasnya.

Cagar Biosfer Samota terletak diantara dua Cagar Biosfer Pulau Komodo dan Rinjani Lombok. Meliputi area yang terdiri dari pulau-pulau kecil, kawasan pantai hutan bakau, pesisir, hutan dataran rendah dan pegunungan, serta sabana. Daerah inti Cagar Biosfer Samota memainkan peran penting dalam melestarikan keanekaragaman hayati. Zona penyangga dan daerah transisinya memiliki potensi pertanian untuk produksi buah, sayuran, dan peternakan.


Prof. Dedy Darnaedi, Ph.D.
Sementara itu, Guru Besar Universitas Nasional Prof. Dedy Darnaedi, Ph.D.  mengungkapkan bahwa di samota terdapat tiga entiti yang memiliki kultur berbeda dan tidak bisa dileburkan menjadi satu. Sehingga nantinya dalam melaksanakan kegiatan di samota memerlukan pendekatan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

“Pendekatan harus kita lakukan melalui pendekatan tiga klaster jadi nelayan dunianya sendiri, petani dunianya sendiri, dan pendatang dunianya sendiri, kita sendiri, stakeholder lain yang nyatanya pendatang itu adalah klaster tersendiri,” ucap Prof. Dedy.

Untuk mewujudkan hal itu, Universitas Nasional akan bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat juga dengan sekolah-sekolah. Disamping itu, perguruan tinggi dapat memberikan input teknologi agar dapat memberi nilai tambah pada masyarakat.

“Sebagai akademisi sudah sewajarnya kalau kita memberikan input teknologi atau masukan kepada apa yang sudah berjalan sekarang misalnya pengelolaan ikan yang biasanya ditampung, nah kira-kira teknologi apa yang bisa memberi nilai tambah pada masyarakat,” jelasnya. (*DMS)