Indonesia kehilangan salah satu penceramah terbaiknya, Muhammad Arifin Ilham. Arifin meninggal di usia 49 tahun setelah berjuang melawan kanker getah bening selama beberapa waktu. Arifin meninggal di Penang, Malaysia, Rabu (22/5) malam.

Mengenang sepak terjangnya, Arifin dikenal memiliki gaya yang khas dalam berdakwah. Kalimat tauhid, takbir, tahmid menjadi tema yang kerap dibawakan pria kelahiran Banjarmasin, 8 Juni 1969 itu dengan suaranya yang serak dan menggetarkan jiwa.

Ayahnya, Ismail Marzuki, merupakan seorang ulama besar di Kalimantan keturunan ketujuh Syeh Al-Banjar. Meski berasal dari keluarga yang religius, Arifin muda justru dikenal sebagai anak yang bengal.

Predikat bocah nakal dan pemalas seolah melekat dalam diri Arifin kecil. Ia baru bisa baca-tulis setelah duduk di kelas 3 SD. Tak hanya itu, Arifin juga dikenal sebagai anak yang gemar berkelahi hingga harus pindah sekolah dari SD Muhammadiyah ke SD Rajawali karena kenakalannya itu.

Menginjak remaja, kenakalan Arifin rupanya tak kunjung mereda. Ia mulai merokok, berjudi, hingga mencuri uang ayahnya. Bahkan, ia pernah hendak membakar rumahnya karena keinginannya memiliki motor tidak dipenuhi sang ayah.

Pada 1983, seusai kedua orangtuanya pulang haji, Arifin dimasukkan ke Pondok Pesantren Darunnajah Ulujami, Jakarta Selatan, selama dua tahun. Baru pada 1987, Arifin kembali melanjutkan pendidikannya di Pesantren Assyafiri’iyah, Tebet, dan memulai debutnya berceramah.

Lulus dari pesantren, Arifin lalu melanjutkan pendidikan di Universitas Nasional Jakarta dengan jurusan Hubungan Internasional. Berbekal ijazah sarjana, ia lalu mengajar di Universitas Borobudur, Jakarta.

Pengalaman Spiritual
Di sisi lain, pada tahun 1997, Arifin sempat mengalami pengalaman spiritual. Saat itu, ia yang dikenal sebagai penyayang binatang, mendapat ular hasil tangkapan warga kampung. Nahas, ular yang hendak ia pelihara itu justru mengigitnya.

Awalnya, ia tidak sadar jika bisa reptil itu mulai menjalar di tubuhnya. Hingga beberapa waktu kemudian, saat tengah mengendarai mobil, ia mulai demam dan bekas gigitan ular di tubuhnya mulai bengkak dan membiru.

Melihat keadaan itu, ibu angkat Arifin, Cut Tursina, segera membawa Arifin ke rumah sakit terdekat, namun ditolak karena peralatan medis yang tak memadai. Setelah dibawa ke beberapa rumah sakit, Arifin yang kritis divonis hanya memiliki kemungkinan hidup satu persen saja.

Setelah sebelas jam, detak jantung Arifin semakin melemah. Beruntung, Arifin akhirnya mendapatkan perawatan ICU di RS Saint Carolus. Setelah lima hari, masa kritisnya dinyatakan telah lewat. Meski kondisinya membaik, namun Arifin mengalami perubahan pada suaranya.

Selama kritis, Arifin mendapatkan pengalaman spiritual yang berdampak pada caranya berceramah. Saat itu, di alam bawah sadar, ia merasa tengah berada di sebuah kampung yang sunyi. Setelah berkeliling, ia akhirnya memutuskan masuk ke dalam masjid.

Di dalam masjid, rupanya sudah ada tiga shaft jamaah yang menunggu dengan pakaian serba putih. Mereka meminta Arifin untuk memimpin berzikir, mengingat Allah SWT.

Mimpi tersebut kembali berulang. Hanya saja, saat itu seluruh penghuni kampung tengah berlarian ketakutan karena didatangi jelmaan setan. Melihat kehadirannya, mereka lalu meminta Arifin untuk menolong mereka mengusir setan.

Di hari ketiga, Arifin kembali mengalami mimpi yang sama. Namun, kali ini ia diminta oleh salah seorang pria untuk mengobati istrinya yang tengah kesurupan. Permintaan itu disanggupi Arifin, namun istri pria tersebut sudah terlanjur meninggal sebelum berhasil ditolong.

Berbekal pengalaman-pengalaman itu, begitu sadar dan sembuh, hati Arifin pun mantap. Ia telah bertekad untuk mendedikasikan diri menjadi pengingat manusia agar tak lupa berzikir.

sumber : kumparan.com