Jakarta (UNAS) – Kenaikan Iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) menjadi salah satu sentimen positif untuk emiten yang berkaitan dengan kesehatan, namun di sisi lain ada berbagai pihak yang mengganggap hal tersebut dapat memberatkan masyarakat, sebab kenaikan nya mencapai 100 persen. Bukan tanpa sebab, kenaikan Iuran tersebut imbas dari defisit BPJS yang saat ini mencapai Rp15,5 triliun. Angka tersebut turun dari perkiraan yang mencapai angka Rp32,4 triliun pada akhir 2019.

Meskipun demikian, defisit tersebut perlu dikejar dengan berbagai upaya sehingga kenaikan iuran tersebut menjadi tantangan BPJS ditengah banyaknya masyarakat yang memilih untuk turun kelas serta kurang sadarnya masyarakat untuk membayar iuran. Sadar akan hal itu, Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik (Himapublik) menyelenggarakan Seminar Nasional 2020 Defisit Anggaran BPJS “Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan : Prospek dan Tantangan” guna membahas bagaimana BPJS menghadapi tantangan kedepan serta prospeknya.

Acara ini turut mengundang narasumber yaitu Kepala Bidang Perluasan, Pengawasan dan Pemeriksaan Peserta Deni Nurhikmat, S.E., Kepala Bidang Kepesertaan dan Pelayanan Peserta Christin Julyana Siagian, S.Sos. dan Ketua Dewan jaminan sosial Nasional periode 2010 – 2015 Dr. Chazali Husni Situmorang, Apt., M.Si.

Dalam pernyataannya, Kepala Bidang Perluasan, Pengawasan dan Pemeriksaan Peserta Deni Nurhikmat, S.E. mengatakan bahwa tantangan BPJS saat ini yaitu bagaimana mengusahakan masyarakat untuk membayar iuran yang masih menunggak. “Upaya tersebut sudah kita lakukan dengan menjemput bola atau datang langsung ke rumah selain itu, salah satu hal lainnya dengan menaikkan iuran,” kata Deni saat Seminar Nasional 2020 Defisit Anggaran BPJS pada Selasa (18/2) di Auditorium blok 1 lantai 4 Unas.

Ia mengungkapkan bahwa dampak adanya kenaikan iuran BPJS ini yaitu banyak masyarakat untuk menurunkan kelas nya ke kelas tiga. Meskipun demikian, lanjutnya, Deni berharap iuran dapat terus berjalan sehingga tidak terjadi tunggakan yang nantinya dapat memperbesar angka defisit.

“Perubahan banyak terjadi pada peserta mandiri karena masyarakat ingin turun kelas ke kelas 3, Walaupun turun kelas kami tidak apa apa yang penting iuran terus berjalan,” ujarnya.

Sementara itu, Ketua Dewan jaminan sosial Nasional periode 2010 – 2015 Dr. Chazali Husni Situmorang, Apt., M.Si. menganggap langkah yang dilakukan oleh BPJS Kesehatan sudah tepat dalam menekan defisit anggaran jaminan sosial itu. Selain itu, kesadaran masyarakat juga penting untuk membayar iuran secara rutin sehingga jaminan kesehatan kepada masyarakat dapat berjalan dengan baik.

“Menjadi permasalahan memang di Indonesia terkait dengan BPJS yaitu terkait dengan iuran peserta BPJS yang banyak menunggak, sehingga pemerintah memberikan solusi yaitu bagi masyarakat yang memang tidak mampu untuk membayar iuran BPJS bisa mengurus kepada pemerintah setempat dan di lanjutkan ke pemerintah pusat,” ucap Chazali.

Chazali menambahkan, pelayanan kesehatan juga sudah diatur dalam konstitusi bahwa pelayanan kesehatan kepada masyarakat tidak boleh adanya diskriminasi. “Pelayanan kesehatan memang sudah ada aturannya didalam konstitusi sehingga pelayanan kesehatan tidak boleh tebang pilih harus sama rata baik itu miskin atau kaya walaupun terdapat kelas yang berbeda-beda dengan jumlah iuran yang berbeda-beda tapi mereka harus dilayani dengan sama,” ungkapnya.

Seperti diketahui, pada 24 Oktober 2019 lalu, Presiden Jokowi telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.(*DMS)